Header Ads

Silaturahim Politik


Masyarakat biasa memandang istilah silaturahim (bernuansa spiritual) bertentangan dengan politik (yang dipersepsi sarat kepentingan material). Interaksi antarindividu atau kelompok yang bersifat tulus untuk memelihara eksistensi kemanusiaan disebut silaturahim. Salah satu penjelasan etimologis, shillah (bahasa Arab: menyambungkan) dan rahim (kandungan sang bunda). Seluruh manusia, meski berbeda latar belakang suku, bangsa, atau ras, sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang satu: Adam dan Hawa.

Kesatuan kemanusiaan melandasi aktivitas silaturahim, termasuk dalam konteks kebangsaan. Sebagai bangsa, Indonesia—menurut definisi Ben Anderson—adalah komunitas yang dibayangkan (imagined community), melampaui batas-batas fisik dan material yang dirasakan sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah bernama nusantara. Silaturahim melumerkan batas suku/agama/budaya, sambil membentuk dan memperkuat "batas baru" sebuah bangsa (Indonesia). Tentu saja bangsa yang hendak diperkuat bukan bersifat chauvinistik, tetapi bersahabat dengan bangsa-bangsa lain yang terus berkembang.

Sedangkan, makna politik telanjur dipahami publik sebagai rebutan kursi kekuasaan akibat tingkah para politisi yang tidak berpegang pada nilai moral. Padahal, jika kita merujuk pada pandangan klasik Plato, politik harus berdasarkan fondasi keadilan. Setiap orang membatasi dirinya dan posisinya dalam hidup sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Dalam skala makro (polis sebagai cikal-bakal negara), prinsip keadilan terletak pada kesesuaian antara fungsi dan struktur pelayanan dengan kecakapan orang yang menjabatnya.

Pandangan Plato dinilai terlalu idealis dan spekulatif, bahkan dikritik oleh muridnya sendiri, Aristoteles. Manusia hidup dalam kenyataan material, terlibat benturan antara berbagai kepentingan, bukan nilai-nilai yang abstrak.

Berbeda dengan Plato yang menganggap negara sebagai manifestasi jiwa keadilan/kebaikan, Artistoteles menafsirkan negara-kota terbentuk karena kesepakatan warga lintas kampung. Kampung sendiri terbentuk dari kesepakatan lintas keluarga, dan keluarga terbentuk karena individu yang saling membutuhkan. Kemampuan individu manusia untuk mengelola kepentingannya sambil berinteraksi dengan individu lain itu diyakini Aristoteles sebagai tabiat zoon politicon.

Sejatinya, tidak ada konotasi negatif dari pemaknaan politik secara idealis atau realis. Praktik politik di masa kontemporer yang tidak berdasarkan nilai tertentu justru membentuk pemahaman keliru (falcification). Kekeliruan yang berulang-ulang (dari periode ke periode) dan bersifat masif menghasilkan "kebenaran" baru, misalnya: praktik politik uang diterima sebagai kewajaran dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden/kepala daerah. Akibatnya, semua jenis interaksi politik antara individu atau kelompok diukur dengan kemanfaatan material yang akan diperoleh. Politik menjadi transaksi berbiaya tinggi untuk memuaskan/memaksimalkan kepentingan pribadi atau kelompok.

Sejak Indonesia merdeka, kita bisa membandingkan kualitas pemilu pada tahun 1955 dan 1999 dengan pemilu pada masa Orde Baru dan pascareformasi. Sebagai bangsa kita harus jujur, telah terjadi gejala dekadensi dalam proses demokratisasi. Bukan sekadar tingkat partisipasi masyarakat yang cenderung menurun, tetapi derajat keterwakilan para politisi semakin rendah dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara sebagai buah dari proses demokrasi terus merosot.

Sebelum lebih jauh terjebak dalam demokrasi semu, sebagai bangsa kita harus berani melakukan koreksi berjamaah, terutama para pemimpin bangsa dan penentu kebijakan. Politik kontemporer yang kita jalani saat ini semakin jauh dari nilai yang digariskan Plato atau Aristoteles.

Semakin jauh lagi, bila kita pakai kriteria asasi pembangunan negara (state building) yang dicanangkan al-Farabi sebagai Madinah al-Fadhilah (negara utama), yakni kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan, keamanan, dan ketertiban umum.

Apakah kita mengelola negara sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945? Ataukah kita perlakukan negara sebagai wahana memuaskan syahwat pribadi/kelompok? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya diajukan elite kelas menengah, tapi rakyat kecil di berbagai daerah juga bertanya-tanya dengan cara dan nada mereka sendiri: pemilu sudah berulang kali, kabinet bergonta-ganti, tapi mengapa nasib kami sebagai rakyat jelata belum sejahtera? Apakah rakyat selalu salah memilih? Apakah rakyat masih membutuhkan pemerintah selaku aparatus negara? Pertanyaan itu tak boleh dibiarkan, bersipongang dalam suasana ketidakpercayaan sistemik.

Silaturahim politik adalah proses dialog dan tukar-menukar pandangan atau pengalaman untuk memperbaiki kondisi politik bangsa yang disadari mengalami kemerosotan di berbagai dimensi. Silaturahim politik bukan hanya terbatas di antara politisi lintas partai, bukan pula antarpolitisi di dalam dan luar pemerintahan.

Silaturahim politik harus melibatkan seluruh komponen bangsa: tokoh masyarakat (termasuk pemuka agama) di pusat dan daerah, cerdik-cendekia lintas generasi (tua-muda) dan profesi, untuk menjawab permasalahan aktual tingkat lokal dan nasional. Jika perlu direvisi, kita bisa menyebutnya: silaturahim kebangsaan.

Tidak perlu dilakukan seremoni formal dan berbiaya besar untuk melembagakan silaturahim kebangsaan. Biarkan berlangsung secara spontan sejalan dinamika yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kesahajaan hubungan antara M Natsir dengan IJ Kasimo dan DN Aidit, atau kehangatan persahabatan Moh Roem dengan Oei Tjoe Tat. Mereka berbeda kelompok politik, tetapi bertenggang-rasa dalam menyelesaikan problem kebangsaan.

Kita harus malu jika sekarang rakyat menyaksikan sejumlah elite berkelahi mengenai perkara yang justru melemahkan sendi-sendi kebangsaan. Silaturahim, sebagaimana gotong-royong, harus menjadi identitas nasional kita.

M Sohibul Iman
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

No comments

Powered by Blogger.